Senin, 18 Januari 2016

Suka Main "Ular Tangga" dan "Monopoli"? TERNYATA Haram Hukumnya dalam Islam!


TheViralz - Tahukan permainan "ular tangga" dan "Monopoli"? Tentu bagi Anda yang mengalami masa kecil di era 90-an, sangat mengenal permainan ini. Bagi anak jaman sekarang, mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang memainkan permainan ini.

Ternyata, permainan tersebut, walaupun tanpa ada taruhan uang di dalamnya, hukum di dalam Islam adalah HARAM. Mengapa? Berikut penjelasannya...


Seluruh permainan yang menggunakan dadu termasuk dalam larangan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:
“Barang siapa yang bermain dadu maka seolah-olah ia telah mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.” (HR. Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil Imam Syafi’i dan mayoritas para Ulama bahwa bermain dadu hukumnya haram… Dan maksud hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyerupakan haramnya main dadu dengan haramnya memakan daging babi.”

Hadits berikutnya yang dijadikan dalil adalah:
“Barangsiapa yang bermain dadu sungguh ia telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud, sanad hadits dinyatakan hasan oleh Al Albani).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diatas menyamaratakan seluruh permainan yang menggunakan dadu, tanpa membedakan nama dan bentuk permainannya. Maka monopoli, ular tangga, ludo dan SEGALA JENIS permainan yang menggunakan dadu, hukumnya HARAM sama dengan mengundi nasib menggunakan anak panah.

Yang perlu diperhatikan juga adalah tidak diperbolehkannya menyimpan dadu, meskipun tidak untuk digunakan bermain, karena sikap para sahabat yang membuang dadu dan merusaknya.
Dari Nafi’, murid dan menantu Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Bahwa Ibnu Umar jika melihat salah satu diantara anggota keluarganya bermain dadu, beliau langsung memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, dinilai shahih oleh Al Albani sampai Ibnu Umar)

والله أعلم بالصواب
Ref:
“Harta Haram Muamalat Kontemporer” – Dr. Erwandi Tarmizi, MA, hal: 281 – 282.

Syaikhul Islam juga mengatakan,
وَالنَّرْدُ حَرَامٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ سَوَاءٌ كَانَ بِعِوَضٍ أَوْ غَيْرِ عِوَضٍ
“Bermain dadu hukumnya haram menurut imam 4 madzhab, baik dengan taruhan maupun tanpa taruhan.” (Majmu’ Fatawa, 32:244)


Wallahu a'lam.... Semoga bermanfaat!

Selasa, 22 September 2015

Puasa Arafah Berbeda dengan Hari Arafah


Jika terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah, antara pemerintah Indonesia dengan Saudi, mana yang harus diikuti? Kami bingung dalam menentukan kapan puasa arafah?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
Pertama, puasa arafah mengikuti wuquf di arafah.
Ini merupakan pendapat Lajnah Daimah (Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiyah) Arab Saudi. Mereka berdalil dengan pengertian hari arafah, bahwa hari arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah. Tanpa memandang tanggal berapa posisi hari ini berada.
Dalam salah satu fatwanya tentang perbedaan tanggal antara tanggal 9 Dzulhijjah di luar negeri dengan hari wukuf di arafah di Saudi, Lajnah Daimah menjelaskan,
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوماً قبله فلا بأس
Hari arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa arafah dianjurkan, bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika anda ingin puasa arafah, maka anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika anda puasa sehari sebelumnya, tidak masalah. (Fatawa Lajnah Daimah, no. 4052)
Kedua, puasa arafah sesuai tanggal 9 Dzulhijjah di daerah setempat
Karena penentuan ibadah yang terkait dengan waktu, ditentukan berdasarkan waktu dimana orang itu berada. Dan hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga penentuannya kembali kepada penentuan kalender di mana kaum muslimin berada.
Pendapat ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Utsaimin. Beliau pernah ditanya tentang perbedaan dalam menentukan hari arafah. Kita simak keterangan beliau,
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا )
Yang benar, semacam ini berbeda-beda, sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.
Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, volume 20, hlm. 28)
Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa perbedaan penentuan hari arafah, kembali kepada dua pertimbangan:
Pertama, apakah perbedaan tempat terbit hilal (Ikhtilaf Mathali’) mempengaruhi perbedaan dalam penentuan tanggal ataukah tidak.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam menentukan tanggal awal bulan, kaum muslimin di seluruh dunia disatukan. Sehingga perbedaan tempat terbit hilal tidak mempengaruhi perbedaan tanggal.
Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan mathali’ mempengaruhi perbedaan penentuan awal bulan di masing-masing daerah. Ini meruakan pendapat Ikrimah, al-Qosim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, Imam Malik, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Abbas. (Fathul Bari, 4/123).
Dari dua pendapat ini, insyaaAllah yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat kedua. Adanya perbedaan tempat terbit hilal, mempengaruhi perbedaan penentuan tanggal. Hal ini berdasarkan riwayat dari Kuraib – mantan budak Ibnu Abbas –, bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits (Ibunya Ibnu Abbas) pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya,
Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku
“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.
“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.
“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.
“Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه
“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi,
“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580, Nasai 2111, Abu Daud 2334, Turmudzi 697, dan yang lainnya).
Kedua, batasan hari arafah
Sebagian ulama menyebutkan bahwa puasa arafah adalah puasa pada hari di mana jamaah haji melakukan wukuf di arafah. Tanpa mempertimbangkan perbedaan tanggal dan waktu terbitnya hilal.
Sementara ulama lain berpendapat bahwa hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Sehingga sangat memungkinkan masing-masing daerah berbeda.
Ada satu pertimbangan sehingga kita bisa memilih pendapat yang benar dari dua keterangan di atas. Terlepas dari kajian ikhtilaf mathali’ (perbedaan tempat terbit hilal) di atas.
Kita sepakat bahwa islam adalah agama bagi seluruh alam. Tidak dibatasi waktu dan zaman, sebelum tiba saatnya Allah mencabut islam. Dan seperti yang kita baca dalam sejarah, di akhir dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, islam sudah tersebar ke berbagai penjuru wilayah, yang jarak jangkaunya cukup jauh. Mekah dan Madinah kala itu ditempuh kurang lebih sepekan. Kemudian di zaman para sahabat, islam telah melebar hingga dataran syam dan Iraq. Dengan alat transportasi masa silam, perjalanan dari Mekah menuju ujung wilayah kaum muslimin, bisa menghabiskan waktu lebih dari sebulan.
Karena itu, di masa silam, untuk mengantarkan sebuah info dari Mekah ke Syam atau Mekah ke Kufah, harus menempuh waktu yang sangat panjang. Berbeda dengan sekarang, anda bisa menginformasikan semua kejadian yang ada di tanah suci ke Indonesia, hanya kurang dari 1 detik. Sehingga orang yang berada di tempat sangat jauh sekalipun, bisa mengetahui kapan kegiatan wukuf di arafah, dalam waktu sangat-sangat singkat.
Di sini kita bisa menyimpulkan, jika di masa silam standar hari arafah itu mengikuti kegiatan jamaah haji yang wukuf di arafah, tentu kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh dari Mekah, tidak mungkin bisa menerima info tersebut di hari yang sama, atau bahkan harus menunggu beberapa hari.
Jika ini diterapkan, tentu tidak akan ada kaum muslimin yang bisa melaksanakan puasa arafah dalam keadaan yakin telah sesuai dengan hari wukuf di padang arafah. Karena mereka yang jauh dari Mekah sama sekali buta dengan kondisi di Mekah.
Ini berbeda dengan masa sekarang. Hari arafah sama dengan hari wukuf di arafah, bisa dengnan mudah diterapkan. Hanya saja, di sini kita berbicara dengan standar masa silam dan bukan masa sekarang. Karena tidak boleh kita mengatakan, ada satu ajaran agama yang hanya bisa diamalkan secara sempurna di zaman teknologi, sementara itu tidak mungkin dipraktekkan di masa silam.
Oleh karena itu, memahami pertimbangan di atas, satu-satunya yang bisa kita jadikan acuan adalah penanggalan. Hari arafah adalah hari yang bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, dan bukan hari jamaah haji wukuf di Arafah. Dengan prinsip ini, kita bisa memahammi bahwa syariat puasa arafah bisa dipraktekkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas waktu dan tempat.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits
http://www.konsultasisyariah.com/puasa-arafah-berbeda-deng…/
 

Kamis, 17 September 2015

Mereka Yang Mati Kemudian Hidup Kembali: Nabi Ibrahim dan Burung (5/5) (Copas Yufid)


Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS:Al-Baqarah | Ayat: 260).
Dialah al-Muhyi, Yang Maha Menghidupkan. Dia kuasa menjadikan padang yang gersang menjadi rimbun. Lihatlah musim kemarau ini. Rerumputan mati. Tanah berdebu, mengering, retak. Lalu turunlah air dari langit, rumput kering itu menjadi segar. Debu-debu sirna kemudian menggumpal dan kembali memadat menjadi tanah. Retak yang terlihat tertambal, hilang dan menjadi subur. Allah ﷻ berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (Ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS:Fushshilat | Ayat: 39).
Jika hal ini Anda anggap lumrah, karena terbiasa menyaksikannya, maka Allah ﷻ telah mengubah keyakinan hati Nabi Ibrahim menjadi haqqul yaqin, keyakinan yang derajatnya lebih tinggi. Bukan hanya hati yang meyakini, bukan juga mata yang hanya menyaksikan, tapi haqqul yaqin adalah tingkat keyakinan seseorang buah dari indera perasanya.
Allah ﷻ menghidupkan empat ekor burung yang sudah disembelih, dicincang, kemudian diletakkan secara acak di puncak gunung-gunung yang berbeda.
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencincang tubuh burung-burung, mengacaknya, dan melatakkannya di puncak bukit, beliau memegang kepala mereka di tangannya. Kemudian Allah ﷻ perintahkan untuk memanggil burung-burung tersebut. Ibrahim ‘alaihissalam memanggil mereka sebagaimana yang Allah ﷻ perintahkan.
Keajaiban terjadi. Hal-hal yang tidak dapat dinalar manusia hanyalah perkara kecil di sisi Allah ﷻ. Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, dan Dia mengetahui sesuatu yang tidak mungkin terjadi bagaimana bila itu terjadi.
Nabi Ibrahim melihat bulu-bulu burung itu berterbangan. Berkumpul saling menyempurnakan. Kucuran darah yang telah tertumpah bertemu kembali ke kadar yang sesuai. Sobekan dan potongan-potongan daging yang telah tersayat kembali menyatu membentuk tubuh. Demikian pula tiap-tiap anggota badan burung itu, mereka kembali ke posisinya semula. Tersambung membentuk tubuh yang utuh.
Setelah organ-organnya mampu menopang tubuh, mereka tegak berdiri, bersegera berjalan menghampiri Ibrahim untuk mencari kepala mereka. Allah ﷻ menjadikan penciptaan mereka lebih dari yang diharapkan Nabi Ibrahim. Agar mata beliau menyaksikan. Dan anggota tubuh lainnya ikut merasakan.
Burung-burung itu datang menjemput kepala mereka di tangan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Apabila yang mereka temui bukan kepala mereka, mereka menolaknya. Apabila mereka dapati bagian yang beliau pegang itu kepala mereka, dengan kuasa Allah ﷻ bagian tubuh itu bersatu. Sungguh Allah ﷻ Maha Kuasa, Perkasa, lagi Bijaksana. Oleh karena itu, Allah ﷻ tutup ayat ini dengan kalam-Nya,
وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dia Maha Perkasa, tidak ada yang mampu mengalahkan-Nya. Dia Maha Perkasa, tidak ada yang mampu mencega kehendak-Nya. Dan Dia Maha Bijaksana dalam firman dan tindakan-Nya.
Penutup
Mudah-mudahan rangkaian lima kisah ini dapat melembutkan hati kita untuk semakin tunduk kepada Allah ﷻ. Dia telah memberikan pengajaran bahwa Dia Maha Kuasa lagi memiliki kemampuan sempurna.
Dia mampu menghidupkan kaum yang telah mati. Menghidupkan kota hingga makmur kembali. Juga menghidupkan burung dengan cara yang luar biasa. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk beramal bersiap menjemput hari berbangkit.
Pustaka:
– http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya260.html#katheer
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Pengusaha Tangguh vs. Pecundang (Copas Yufid)


Yang namanya pengusaha tangguh bukanlah orang yang suka mengeluh, suka mencari kambing hitam, cengeng dan mudah menyerah, jika gagal dia segera sadar itu karena kesalahan dirinya sendiri.
Sebaliknya pengusaha dengan mental pecundang selalu mengeluh dengan keadaan, mengeluh kurang modal, mengeluh kebijakan pemerintah, mengeluh dolar naik, mengeluh ini dan itu, selalu punya kambing hitam, lupa bahwa sumber masalahnya adalah dirinya sendiri.

Introspeksi diri adalah langkah pertama jika usaha berjalan tidak sesuai harapan, merugi bahkan bangkrut, baik introspeksi cara berusahanya apakah ada yang salah atau kurang baik dan introspeksi diri apakah disebabkan oleh dosa2nya, bukankah Allah Ta'ala berfirman,
"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (At Thalaq 2-3)
"Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa." QS. Yunus : 17
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." QS. Thaahaa : 124
"Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." QS. Al-Lail : 4 - 7
Rosulullah Shalla Allahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah." (HR. Muslim 5/521)
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll).
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezeki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah)
"Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Dan banyak lagi dalil2 yang menunjukkan jika kita berusaha sungguh2 dalam kebaikan dan takwa dibarengi do'a dan tawakal maka jalan kesuksesan akan terbuka lebar, InsyaAllah.

Senin, 07 September 2015

JUJUR DALAM BERJUAL BELI (copas yufid)


Abu Said al Khadimy (ulama mazhab Hanafi, wafat: 1156H) meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah mengirim 70 helai kain melalui al Bisyr untuk dijual di Mesir, dan beliau menulis surat kepadanya bahwa kain yang telah diberi tanda terdapat cacat, serta memintanya untuk menjelaskan cacat tersebu kepada calon pembeli.
Setelah kembali ke Irak, al Bisyr menyerahkan uang hasil penjualan kepada Abu Hanifah sebanyak 3.000 keping uang dinar (+- 12,75kg emas, dengan... asumsi 1 dinar = 4,25 gram)
Lalu Abu Hanifah menanyakan kepada al Bisyr, apakah 1 kain yang cacat jelaskan cacatnya kepada pembeli saat dijual? Al Bisyr menjawab, "aku lupa".

Syahdan, sang imam berdiri, lalu mensedekahkan seluruh hasil penjualan 70 helai kain. (Bariqah Mahmudiyah III/123)
***
Cerita di atas dinukil dari buku "Harta Haram Muamalat Kontemporer" Ust Erwandi, halaman 142. Beliau menukil cerita tersebut dalam penjelasan haramnya menutupi cacat barang dagangan dan wajib memberi tahu cacat pada pembeli. Dan apabila sudah terlanjur, taubatnya adalah dengan menyedekahkannya seperti yang dilakukan Imam Abu Hanifah. (via ustadz Amrullah Akadhinta)
by FB Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia
www.pengusahamuslim.com atau www.kpmi.or.id
Buku "Harta Haram Muamalat Kontemporer" dapat Anda peroleh di Yufid Store (www.store.yufid.com), silakan hubungi: 0896 1000 0767 atau 0813 2633 3328

Hukum Qurban Atas Nama Perusahaan (copas yufid)


Di daerah kami banyak perusahaan melakukan qurban. Dititip-titipkan ke masjid-masjid kampung. Mungkin dana CSR perusahaan. Totalnya banyak, bisa sampai puluhan sapi dr beberapa perusahaan.
Tapi katanya, itu atas nama karyawan di perusahaan itu.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Salah satu yang diatur dalam ibadah qurban adalah mengenai kepemilikan hewan qurban. Kambing hanya boleh dimiliki oleh satu orang, sapi maksimal 7 orang, sementara onta maksimal 10 orang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى، فَاشْتَرَكْنَا فِي الْجَزُورِ، عَنْ عَشَرَةٍ، وَالْبَقَرَةِ، عَنْ سَبْعَةٍ
Kami pernah safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika tiba Idul Adha, kami urunan untuk onta 10 orang dan sapi 7 orang. (HR. Ibn Majah 3131 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis ini berbicara tentang kepemilikan hewan qurban, bukan peruntukan pahala qurban. Untuk peruntukan qurban, satu ekor kambing bisa diqurbankan atas nama satu orang dan seluruh anggota keluarganya. Abu Ayyub radhiyallahu’anhu mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan selueuh anggota keluarganya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibn Majah 3125, dan dishahihkan al-Albani).
Bagaimana dengan Qurban dari Perusahaan?
Kita bisa melihat beberapa kemungkinan di sana,
Pertama, perusahaan itu milik perorangan.
Semua modal dan asetnya milik satu orang. Sehingga, setiap dana yang dikeluarkan untuk kegiatan ibadah, maupun kegiatan sosial lainnya, hakekatnya adalah uang milik satu orang. Termasuk ketika perusahaan ini memberikan qurban, hakekatnya itu milik owner perusahaan. Qurban ini sah sebagai ibadah pemilik perusahaan.
Kedua, perusahaan milik banyak pemodal
Seperti perseroan, yang modal dan asetnya patungan dari para pemegang saham. Ketika perusahaan mengeluarkan dana sosial CSR, hakekatnya itu uang milik semua pemegang modal. Jika itu untuk kegiatan ibadah, semua pemegang modal berhak di sana.
Ketika itu wujudnya hewan qurban, tentu saja tidak sah. Karena beararti quota pemilik hewan itu, melebihi batas. Jika perusahaan tetap mengeluarkan hewan qurban atas nama satu perusahaan, nilainya sedekah, dan bukan qurban.
Ketiga, perusahaan memberikan hewan qurban ke karyawan
Mungkin kasusnya, perusahaan memberikan hewan qurban ke sejumlah karyawan. Misalnya, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk qurban 70 karyawan. Semacam ini dibolehkan, dan tentunya, pahalanya pun untuk karyawan.
Kira-kira sama dengan kasus perusahaan menghajikan para karyawannya. Yang pergi haji tentu karyawan, bukan perusahaan. Dan pahalanya untuk karyawan yang pergi haji, bukan perusahaan.
Hanya saja, untuk jenis ketiga ini perlu diperhatikan aturan berikut,
Pertama, harus dipastikan kepemilikan sapinya. Terutama ketika perusahaan mengeluarkan lebih dari 1 sapi. Sebagai contoh, perusahaan mengeluarkan 10 ekor sapi untuk 70 karyawan. Secara perhitungan benar, namun tetap perllu ditegaskan, siapa pemilik masing-masing sapi.
Kedua, semua karyawan yang mendapat hadiah ibadah qurban harus sadar bahwa dia sedang berqurban. Karena setiap ibadah butuh niat. Sehingga tidak boleh perusahaan mengeluarkan sejumlah sapi qurban untuk beberapa karyawannya, tapi yang bersangkutan tidak tahu.
Ketiga, ketika hewan ini telah diserahkan ke karyawan, semua aturan qurban berlaku untuknya. Seperti anjuran menyembelih sendiri, atau melihat penyembelihannya, tidak boleh menjual bagian qurbannya, berhak dapat dagingnya, dst.
Demikian, Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Kamis, 27 Agustus 2015

Jangan Lakukan Hal ini Ketika Jumatan

Jangan Lakukan Hal ini Ketika Jumatan
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Berikut beberapa pelanggaran yang sering dilakukan kaum muslimin ketika jumatan. Kami sendirikan dalam pembahasan khusus, mengingat masih banyak kaum muslimin yang kurang memperhatikannya. Semua menjadi pelajaran bagi kita semua,
Pertama, melangkahi pundak jamaah yang duduk berdampingan
Ketika ada orang yang telat datang jumatan, dia melihat ada satu tempat di depan yang kosong. Dengan sigapnya, dia langkahi pundak-pundak jamaah lainnya, untuk berjalan maju, mendapatkan satu tempat yang kosong itu. Tindakan semacam ini, sangat dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau menyebutnya sebagai perbuatan yang mengganggu.
Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bercerita,
Ada seseorang, dia melangkahi pundak-pundak jamaah ketika jumatan. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang ini,
اجْلِسْ ، فَقَدْ آذَيْتَ
“Duduk!, kamu mengganggu” (HR. Abu Daud 1118, Ibn Majah 1115 dan dishahihkan al-Albani).
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum melangkahi pundak ketika jumatan.
Pendapat pertama, hukumnya makruh
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, pendapat yang masyhur menurut Syafiiyah, dan madzhab Hambali. (Fathul Bari, 2/392)
Bagi Imam Malik dan al-Auza’I, larangan makruh ini berlaku jika khatib sudah naik mimbar. Artinya, jika orang melangkahi jamaah sebelum khutbah dimulai, tidak makruh.
Dalam kitab al-Mudawwanah dinyatakan,
وقال مالك : إنما يكره التخطي إذا خرج الإمام ، وقعد على المنبر ، فمن تخطى حينئذ فهو الذي جاء فيه الحديث ، فأما قبل ذلك فلا بأس به إذا كانت بين يديه فُرَجٌ ، وليترفق في ذلك
Malik mengatakan, dimakruhkan melangkahi pundak jamaah, hanya ketika imam sudah naik mimbar. Siapa yang melangkahi pundak jamaah setelah imam naik mimbar, maka dia terkena larangan dalam hadis. Sementara orang yang melangkahi pundak sebelum imam naik mimbar, diperbolehkan, jika di depannya ada celah. Dan hendaknya masing-masing saling toleran. (al-Mudawwanah, 1/159).
Pendapat kedua, bahwa melangkahi pundk-pundak jamaah, hukumnya haram mutlak, baik dilakukan ketika jumatan maupun di luar jumatan. Berdasarkan hadis Abdullah bin Busr di atas. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai tindakan mengganggu.
Ini merupakan pendapat yang dinilai kuat oleh para ulama penneliti, seperti Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Bar, an-Nawawi, dan Syaikhul Islam, sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat (hlm. 81). Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini adalah Imam Ibnu Utsaimin.
An-Nawawi menukuil keterangan Ibnul Mundzir mengenai alasan mengapa ini haram,
لأن الأذى يحرم قليله وكثيره ، وهذا أذى ، كما جاء في الحديث الصحيح قال النبي صلى الله عليه وسلم لمن يراه يتخطى : ( اجلس فقد آذيت )
Karena yang namanya mengganggu statusnya haram, baik sedikit maupun banyak. Semuanya mengganggu. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada orang yang melangkahi pundak-pundak jamaah, “Duduk, kamu ganggu.” (al-Majmu’, 4/547)
Kedua, duduk memeluk lutut
Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
أَن النَبيَ صَلى اللهُ عَليه وَسَلمَ نَهَى عَنْ الْحَبْوَةِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk memeluk lutut pada hari ketika imam sedang berkhutbah. (HR. Abu Daud 1112, Turmudzi 516 dan dihasankan al-Albani).
Pada dasarnya, semua bentuk duduk dibolehkan selama tidak menyerupai binatang atau duduknya setan. Namun mengingat model duduk semacam ini bisa menjadi sebab seseorang tidur ketika jumatan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sehingga yang beliau kerjakan adalah melarang sesuatu karena itu menjadi pelangantar pelanggaran yang lebih besar.
Ketika menyebutkan hadis ini, an-Nawawi mengutip keterangan al-Khithabi:
نهى عنها لأنها تجلب النوم فتعرض طهارته للنقض، ويمنع من استماع الخطبة
“Perbuatan ini dilarang, karena ini bisa menyebabkan ngantuk, sehingga bisa jadi wudhunya batal, dan terhalangi mendengarkan khutbah.” (al-Majmu’, 4/592)
Allahu a’lam
Bersambung, insyaaAllah..